Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, memberikan indikasi bahwa kementeriannya akan mengurangi produksi nikel pada tahun ini. Langkah ini diambil oleh pemerintah seiring dengan penurunan harga komoditas nikel di pasar global. "Saya bersama Dirjen Minerba dan tim dari Kementerian sedang melakukan kajian mengenai total kebutuhan nikel. Dari total kebutuhan tersebut, kita akan menilai Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang diperlukan, karena penting untuk menjaga keseimbangan," kata Bahlil dalam konferensi pers di kantornya di Jakarta baru-baru ini. Dengan demikian, RKAB dari perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) nikel yang akan disetujui pada tahun 2025 akan dievaluasi lebih lanjut, mengingat pemerintah tidak ingin produksi nikel yang ada tidak dapat diserap dengan baik oleh industri. "Nikelnya akan dijual dengan harga murah nantinya. Kami tetap berkomitmen untuk menjaga kesinambungan dan harga. Ini adalah hukum permintaan dan penawaran; bukan berarti semakin banyak RKAB, semakin baik. Jika jumlahnya meningkat dan harga jatuh, maka akan merugikan para pelaku usaha penambangan nikel," jelasnya. Pemerintah mengharapkan bahwa inisiatif ini dapat meningkatkan harga nikel di pasar menjadi lebih baik. "Oleh karena itu, kita tidak boleh berlebihan. Yang paling ideal adalah banyaknya Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang disusun, dengan harga yang baik, itu sudah memadai. Namun, jika harga mengalami penurunan drastis dan kita tetap memberikan RKAB dalam jumlah besar, maka harga akan semakin merosot," tegasnya. Fahmy Radhi, seorang pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), berpendapat bahwa rencana tersebut kurang tepat. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan smelter-smelter yang ada saat ini untuk memenuhi kebutuhan bijih nikel dengan baik. Akibatnya, smelter tersebut terpaksa melakukan impor bijih nikel dari negara lain, seperti Filipina. Nikel yang kita miliki saat ini mengalami pembatasan, sementara kebutuhan untuk smelter tidak terpenuhi. Ironisnya, impor nikel dari Filipina masih diperbolehkan. Hal ini menciptakan kontradiksi, mengingat kebijakan pelarangan ekspor bijih mentah nikel bertujuan untuk mendorong hilirisasi di Indonesia demi mencapai nilai tambah. Jika sebagian dari hilirisasi bijih nikel berasal dari Filipina, maka nilai tambah tersebut tidak sepenuhnya dapat dinikmati oleh Indonesia, jelasnya dalam diskusi dengan VOA. Lebih lanjut, ia meragukan bahwa rencana pemangkasan kuota produksi nikel akan mampu meningkatkan harga komoditas ini di pasar. "Banyak negara lain yang juga memproduksi nikel dan dapat mencapai harga keseimbangan tersebut," tambahnya. Kemudian, apa keuntungan dan kerugian bagi Indonesia jika kebijakan ini diterapkan? Fahmy menjelaskan bahwa keuntungan dari kebijakan ini adalah Indonesia akan memiliki cadangan nikel yang lebih lama karena produksinya dikendalikan. Namun, di sisi lain, Indonesia akan kehilangan nilai tambah yang signifikan dari komoditas ini. Menurut pendapat saya, yang perlu dibatasi ke depan bukanlah produksi nikel, melainkan jumlah smelter yang ada. Smelter yang sudah ada silakan beroperasi, tetapi tidak perlu menambah jumlah smelter baru, sehingga diperlukan moratorium untuk smelter. Hal ini lebih penting agar smelter yang ada dapat memenuhi kebutuhan dari bijih nikel yang tersedia di Indonesia tanpa adanya pembatasan. Ketika larangan ekspor bijih nikel mentah diterapkan pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, pemerintah melakukan kesalahan dengan mengundang banyak investor, terutama dari China, untuk membangun smelter nikel. Akibatnya, jumlah smelter saat ini sangat banyak. Oleh karena itu, alih-alih mengurangi produksi bijih nikel, fokus saat ini seharusnya adalah moratorium smelter. Saya berpendapat bahwa investasi untuk smelter perlu dihentikan, di samping menjaga keseimbangan antara permintaan smelter dan pasokan dari tambang. Kepala Divisi Public Engagement Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Adam Kurniawan, mengemukakan keraguan mengenai konteks rencana pemerintah untuk memangkas kuota produksi nikel. “Bagaimana pemotongan produksi ini akan diterapkan? Apakah ini berarti akan ada pencabutan izin tambang tertentu? Atau apakah hanya skala pengolahan yang akan dikurangi, sementara izin tambang tetap ada dan tidak ada izin baru yang dikeluarkan?” jelas Adam. Meskipun demikian, Adam berpendapat bahwa jika kebijakan ini dilaksanakan, dampaknya terhadap lingkungan tidak akan signifikan, kecuali jika izin pertambangan nikel dicabut dan dilakukan pemulihan lingkungan di area yang telah dieksploitasi. “Kerusakan yang terjadi tidak langsung menyebabkan bencana. Di beberapa lokasi yang telah dieksploitasi, meskipun hutan digunduli dan bukit dipotong, bencana tidak terjadi secara instan. Mungkin butuh waktu satu atau dua tahun untuk melihat dampak bencana. Jika ingin mengaitkan dengan bencana, pencabutan izin pertambangan dan rehabilitasi area bekas tambang adalah langkah yang tepat untuk mengurangi risiko bencana. Selain itu, saya percaya bahwa alasan di balik pemotongan ini bukanlah bencana, melainkan terkait dengan penurunan harga nikel,” tutupnya.
404
Kasus Tambang Raja Ampat Harus Diselidiki Secara Menyeluruh
Gibran: Perkembangan Bangsa Tidak Lagi Bergantung Pada Pemilik Tambang!