Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) berpendapat bahwa rencana pemangkasan produksi bijih nikel pada tahun ini kemungkinan hanya akan diterapkan kepada perusahaan-perusahaan nikel baru yang belum memperoleh persetujuan untuk rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) pertambangan. "Pemangkasan tersebut mungkin akan berlaku bagi perusahaan-perusahaan yang baru saja mengajukan [RKAB] dan belum mendapatkan persetujuan dari [pemerintah]. Perusahaan yang baru mengajukan, mungkin itu bisa ditinjau kembali. Masih banyak perusahaan yang belum mendapatkan persetujuan," ungkap Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, saat dihubungi pada Selasa (21/1/2025). Meidy menambahkan bahwa perusahaan yang sudah ada sebelumnya telah mendapatkan persetujuan RKAB sejak tahun lalu dan telah ditandatangani sesuai dengan peraturan yang berlaku. RKAB tersebut berlaku selama tiga tahun, sehingga semua perusahaan yang telah mengajukan RKAB sejak 2024 akan tetap mendapatkan persetujuan hingga 2026. Perusahaan saya telah mendapatkan RKAB sebesar 10 juta ton nikel yang telah disetujui. Namun, tiba-tiba pihak pemerintah, melalui Ditjen Minerba Kementerian ESDM, mengumumkan bahwa RKAB tersebut akan ditarik dan dikurangi menjadi 1 juta ton. Apakah perusahaan tidak akan marah mendengar hal ini? ujar Meidy. Ganggu Gugat Dia menekankan bahwa aturan yang telah disepakati oleh pemerintah seharusnya tidak dapat dipertanyakan. Meskipun pengaturan tersebut merupakan hak prerogatif pemerintah, Meidy menekankan bahwa pengurangan produksi nikel dapat mengganggu kelancaran proses produksi dan berpotensi menimbulkan efek berantai. Di sisi lain, di tengah perdebatan mengenai pemangkasan produksi bijih nikel tahun ini, kapasitas smelter mengalami peningkatan dengan hadirnya beberapa smelter baru. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan nikel pada tahun ini diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meidy juga menyatakan bahwa peningkatan permintaan nikel untuk smelter pada tahun ini dapat mencapai 20%. Jika pada tahun lalu permintaan nikel mencapai sekitar 260 juta ton, maka tahun ini diperkirakan akan mencapai sekitar 300 juta ton. Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa pemerintah belum memiliki rencana untuk mengurangi produksi bijih nikel pada tahun ini. Bahlil menekankan bahwa Kementerian ESDM berupaya menjaga keseimbangan antara permintaan perusahaan terhadap Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) serta kapasitas industri yang ada. Di sisi lain, perhatian terhadap kepentingan pengusaha nikel lokal tetap menjadi prioritas. "RKAB disusun berdasarkan kebutuhan yang ada. Saat ini, belum ada pemangkasan," ujarnya saat ditemui di kantornya pada hari Jumat, 17 Januari 2025. Bahlil memberikan contoh bahwa ketika sebuah perusahaan nikel mengajukan RKAB sebesar 20 juta ton untuk memenuhi kebutuhan pabriknya, Kementerian ESDM hanya akan memberikan kuota sebesar 60% dari jumlah yang diajukan. Sementara itu, 40% sisanya harus dipenuhi dari pengusaha lokal. “Jika tidak, bagaimana nasib masyarakat lokal? Mereka mau menjual [nikel] ke mana?,” ungkap Bahlil. Sumber dari Bloomberg menyebutkan bahwa jumlah bijih nikel yang diizinkan untuk ditambang pada tahun 2025 hanya akan mencapai 150 juta ton. Angka ini mengalami penurunan signifikan dibandingkan dengan RKAB pertambangan nikel yang diizinkan sebanyak 240 juta ton bijih pada tahun 2024. Selama periode 2024—2026, Kementerian ESDM telah menyetujui sebanyak 292 permohonan RKAB untuk pertambangan nikel, namun hanya 207 di antaranya yang diberikan izin untuk berproduksi. Menanggapi informasi tersebut, Macquarie Group Ltd memperkirakan bahwa potensi pengurangan produksi tambang nikel di Indonesia pada tahun 2025 dapat mengakibatkan hilangnya lebih dari sepertiga atau sekitar 35% dari pasokan global di pasar. Situasi ini menimbulkan risiko signifikan terhadap kenaikan harga. Rencana untuk memangkas produksi nikel hingga 150 juta ton tahun ini diperkirakan akan 40% lebih rendah dibandingkan dengan skenario dasar yang diajukan oleh Macquarie, yang berpotensi menyebabkan penurunan drastis dalam produksi logam untuk baterai. Lembaga tersebut berpendapat bahwa pengurangan produksi dalam skala besar tersebut sangat tidak mungkin terjadi, namun mencatat bahwa produksi tambang yang lebih rendah dari yang diharapkan di negara produsen terbesar di dunia dapat menambah risiko kenaikan harga lebih lanjut.
404
Kasus Tambang Raja Ampat Harus Diselidiki Secara Menyeluruh
Gibran: Perkembangan Bangsa Tidak Lagi Bergantung Pada Pemilik Tambang!