Foto: Ilustrasi Nikel (Dok IMIP)

Sektor Nikel Akan Dikenakan Royalti, Bagaimana Keadaannya?

Kamis, 10 Apr 2025

Pemerintah baru-baru ini mengumumkan rencana untuk meningkatkan tarif royalti bagi industri nikel hingga maksimum 19%, yang akan mulai diterapkan bulan ini. Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan target untuk meningkatkan penerimaan negara bukan pajak dalam beberapa tahun ke depan. Untuk tahun ini, target penerimaan ditetapkan sebesar Rp513,6 triliun, yang lebih tinggi dibandingkan dengan Rp492 triliun pada tahun lalu.

Sebagai informasi, sektor mineral dan batu bara (minerba) diperkirakan akan menyumbang 42% dari total penerimaan negara bukan pajak pada tahun 2024. Oleh karena itu, penyesuaian kebijakan fiskal melalui peningkatan royalti menjadi salah satu langkah strategis pemerintah untuk mencapai target tersebut.

Pada bulan ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan bahwa kenaikan tarif royalti di sektor mineral akan segera diterapkan.

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa kenaikan tarif royalti untuk beberapa komoditas mineral, termasuk nikel dan emas, akan mulai berlaku secara efektif pada April 2025.

"Untuk royalti, beberapa komoditas seperti nikel dan emas, peraturan pemerintahnya sudah selesai dan akan segera berlaku. Bulan ini sudah mulai efektif, mungkin pada minggu kedua," ungkap Bahlil di Gedung Kementerian ESDM, Rabu (9/4/2025).

Bahlil menjelaskan bahwa pemerintah telah melakukan sosialisasi mengenai penerapan skema royalti yang baru. Skema royalti yang terbaru akan menggunakan sistem rentang yang bergantung pada harga komoditas mineral di pasar internasional.

"Jika harga nikel atau emas meningkat, akan ada rentang tertentu. Namun, jika harga tidak naik, tarif royalti juga tidak akan meningkat. Terdapat tabel yang mengatur hal ini. Jika perusahaan mendapatkan keuntungan, negara juga harus mendapatkan bagiannya. Kami ingin menciptakan situasi yang saling menguntungkan, di mana pengusaha dan negara sama-sama diuntungkan," tambahnya.

Sebelumnya, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, berharap agar pemerintah mempertimbangkan kondisi pasar global sebelum menaikkan royalti.

"Kita perlu melihat kondisi global terlebih dahulu. Karena kita harus mempertimbangkan bahwa pasar akhir kita ada di luar negeri," kata Meidy dalam acara Mining Zone CNBC Indonesia, yang dikutip pada Rabu (26/3/2025).

Ia kemudian menekankan betapa pentingnya bagi pemerintah untuk mempertimbangkan beberapa faktor utama sebelum mengambil keputusan mengenai kebijakan ini. Pertama, perlu diperhatikan permintaan global terhadap nikel dari Indonesia.

Kedua, penting untuk membandingkan biaya produksi Indonesia dengan negara-negara penghasil nikel lainnya. Ketiga, konsistensi regulasi sangat diperlukan untuk menciptakan iklim investasi yang menarik bagi para investor. "Karena beberapa investor merasa ragu untuk berinvestasi di Indonesia jika regulasi tidak konsisten," ungkap Meidy.

Harga Nikel Masih Tidak Stabil

Harga nikel acuan masih berada di bawah US$ 18.000 per ton. Pada perdagangan hari ini, Kamis (10/4/2025), harga nikel LME tercatat sebesar US$ 14.579 per ton. Sejak pembukaan pasar, harga mengalami penurunan moderat sebesar 0,11%, namun dalam seminggu terakhir, harga telah merosot sekitar 7%.

Dalam setahun terakhir, harga nikel juga masih berada dalam tren negatif hingga 18% dan saat ini mencapai level terendah sejak September 2020.

Penurunan harga nikel dalam beberapa tahun terakhir disebabkan oleh kelebihan pasokan dari Indonesia, sementara permintaan tidak dapat mengikuti perkembangan tersebut akibat perlambatan ekonomi global, terutama di Tiongkok yang masih mengalami kelesuan.

Belakangan ini, situasi semakin memburuk dengan munculnya kekhawatiran mengenai perang dagang, terutama setelah keputusan Trump untuk menerapkan tarif timbal balik, meskipun terdapat penundaan untuk 58 negara.

Namun, ketegangan dalam perang dagang terus meningkat, dengan Tiongkok yang mengumumkan tarif sebesar 34% untuk semua impor dari AS dan menerapkan kontrol ekspor terhadap bahan langka mulai 10 April, sebagai respons terhadap tarif yang baru-baru ini dikenakan oleh Presiden Trump.

Di sisi lain, peningkatan stok nikel di London Metal Exchange (LME) juga berkontribusi pada penurunan harga, di mana nikel yang diproses di Tiongkok kini menyumbang lebih dari 50% dari total inventaris LME, meningkat dari hanya 11% pada awal tahun 2024.

Vincent Liao, Manajer Negara di Shanghai Metals Market, menekankan bahwa harga nikel yang terus menurun.

"Pergerakan harga nikel di LME baru-baru ini tampaknya lebih dipengaruhi oleh faktor makro seperti kebijakan tarif AS daripada oleh fundamental permintaan dan penawaran yang tradisional," ujarnya.

Ia juga memperkirakan bahwa para produsen nikel akan menghadapi tantangan geopolitik yang berpotensi meningkatkan biaya produksi, yang pada gilirannya dapat menekan margin keuntungan.

Lalu, bagaimana dampak tarif royalti terhadap emiten? Untuk memahami dampaknya, kami akan menyajikan data terkait usulan kenaikan tarif yang akan diterapkan bulan ini berdasarkan informasi dari Kementerian ESDM.

Saat ini, harga nikel masih berada di bawah US$ 18.000 per ton. Hal ini berdampak signifikan pada emiten yang bergerak di sektor nikel Ferronickel (FeNi) dan Nickel Matte, yang mengalami kenaikan tarif royalti masing-masing sebesar 150% dan 125%.

Di sisi lain, tarif untuk Nickel Ore mengalami peningkatan sebesar 40%, dari 10% menjadi 14%. Sementara itu, tarif untuk Nickel Pig Iron (NPI) tetap tidak berubah.

Kami mengidentifikasi beberapa emiten yang akan terpengaruh, seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL), yang memiliki banyak produk akhir FeNi.

Selain itu, untuk produk akhir Nickel Matte, terdapat PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dan PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA), yang beroperasi melalui PT Zhao Hui Nickel.

Sebagai informasi, produk nikel di Indonesia umumnya dihasilkan melalui proses smelter RKEF, di mana salah satu hasilnya adalah Feronickel (FeNi) yang terdiri dari komponen utama besi dan nikel.

Feronickel memiliki kandungan nikel berkisar antara 15-40%, di mana tingkat kandungan nikel ini berpengaruh terhadap kualitas produk akhir.

Selain Feronickel, smelter RKEF juga memproduksi nickel pig iron (NPI), yang merupakan jenis feronickel dengan kualitas terendah, yaitu 2-15% Ni. Kedua produk ini digunakan sebagai bahan baku untuk stainless steel.

Di sisi lain, jika tidak dijual secara langsung, NPI dan FeNi dapat diproses lebih lanjut untuk menghasilkan nickel matte dengan kualitas yang lebih tinggi, yaitu 30%-80%. Produk ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk baterai kendaraan listrik

Vincent juga memberikan pandangannya mengenai dampak dari kebijakan royalti.

"Di Indonesia, kebijakan royalti yang baru akan memberikan dampak langsung kepada pemegang izin pertambangan IUP/IUPK dengan meningkatkan biaya operasional secara struktural," jelasnya

Namun, ia juga menambahkan bahwa dengan berakhirnya musim hujan dan meningkatnya pasokan bijih yang masuk ke pasar, faktor-faktor yang berlawanan dapat membantu menstabilkan harga bijih nikel dalam waktu dekat.




Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.