ESDM Mengadakan Forum Diskusi Mengenai Rencana Peningkatan Royalti Nikel Bersama Para Pengusaha

Selasa, 15 Apr 2025

Dia menyatakan bahwa revisi peraturan pemerintah (PP) mengenai tarif royalti untuk mineral dan batu bara telah selesai. Revisi yang dimaksud mencakup PP Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta PP Nomor 15 Tahun 2022 mengenai Perlakuan Perpajakan dan/atau PNBP di Sektor Usaha Pertambangan Batubara. "Bulan ini sudah mulai berlaku secara efektif. Mungkin pada minggu kedua sudah diterapkan dan telah disosialisasikan," ungkap Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Rabu (9/4/2025). Namun, para pelaku usaha nikel mengungkapkan keberatan terhadap rencana tersebut dan meminta pemerintah untuk menunda kenaikan tarif royalti nikel. Indonesian Mining Association (IMA) berpendapat bahwa penerapan tarif royalti baru di tengah meningkatnya ketegangan perang dagang dapat memberikan tekanan pada industri dan berpotensi merugikan perekonomian nasional. IMA berharap pemerintah bersedia melakukan negosiasi ulang terkait pengenaan tarif royalti yang baru. Selain itu, hingga saat ini, para pelaku usaha belum menerima draf final mengenai penyesuaian tarif royalti minerba. "Sebagai mitra pemerintah, anggota IMA tentu akan mematuhi. Namun, kami berharap hal ini dapat dibahas kembali mengingat situasi perang dagang yang ada," kata Direktur Eksekutif IMA, Hendra Sinadia, kepada Bisnis, pekan lalu. Ia menambahkan bahwa di tengah tekanan akibat perang dagang, industri minerba seharusnya mendapatkan dukungan dari pemerintah, bukan justru dibebani dengan tarif royalti yang lebih tinggi. Menurut Hendra, industri minerba tidak terpengaruh secara langsung oleh kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Oleh karena itu, kondisi ini seharusnya dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. "Dalam situasi perang tarif, industri minerba kita tidak terdampak langsung, sehingga berpotensi untuk mendukung perekonomian kita. Pelaku usaha perlu didukung, termasuk dengan tidak dikenakan kenaikan royalti," tutup Hendra.

Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Alexander Barus, mengungkapkan bahwa rencana untuk meningkatkan tarif royalti atas komoditas nikel perlu dievaluasi dengan cermat. Hal ini terutama penting mengingat harga nikel saat ini mengalami penurunan yang signifikan akibat tekanan geopolitik dan perseteruan perdagangan antara Amerika Serikat dan China. Ia menjelaskan bahwa harga nikel global telah merosot tajam, dengan penurunan sebesar 16% dalam sebulan terakhir dan 23% dalam enam bulan terakhir, mencapai level US$13.800 per ton, yang merupakan angka terendah sejak tahun 2020. Alexander menambahkan bahwa penurunan ini terjadi di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi global dan ketegangan geopolitik, termasuk perang tarif antara AS dan China, yang berdampak langsung pada permintaan nikel di seluruh dunia. Selain itu, industri nikel juga menghadapi peningkatan biaya produksi akibat kebijakan domestik, seperti kenaikan upah minimum regional (UMR), penggunaan B40, retensi devisa hasil ekspor (DHE), dan penerapan pajak minimum global yang akan mulai berlaku pada tahun 2025. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan penyesuaian tarif royalti nikel. “Perubahan kebijakan fiskal, seperti kenaikan royalti, harus mempertimbangkan kondisi pasar yang sedang mengalami penurunan harga agar tidak membebani pelaku industri, terutama dalam upaya menjaga keberlanjutan hilirisasi nikel nasional,” tegas Alexander dalam pernyataan resmi yang dirilis pada Sabtu (12/4/2025).



Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.