Sumaryanto Bronto/Greenpeace

Mengapa Aktivitas Penambangan Di Raja Ampat Dianggap Bertentangan Dengan Undang-undang Serta Putusan MK

Sabtu, 07 Jun 2025

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari, menyatakan bahwa izin usaha pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, melanggar undang-undang serta putusan Mahkamah Konstitusi.

Feri menjelaskan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah menegaskan adanya larangan untuk melakukan aktivitas tambang di pulau kecil. Pasal 23 ayat (2) dari undang-undang ini menyatakan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya harus diprioritaskan untuk kepentingan seperti konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan yang berkelanjutan; pertanian organik dan peternakan; serta pertahanan dan keamanan negara.

Selain tujuan konservasi, pendidikan, pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya harus memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan dan kelestarian, sistem tata air setempat, serta menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.

"Tunjukkan di mana urusan yang berhubungan dengan pertambangan sesuai dengan undang-undang ini. Oleh karena itu, menurut pendapat saya, tidak seharusnya ada aktivitas yang bertentangan dengan undang-undang ini," ujar Feri kepada Tempo, pada hari Sabtu, 7 Juni 2025.

Feri menambahkan bahwa undang-undang tersebut secara jelas menyatakan bahwa pulau kecil adalah pulau yang memiliki luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta ekosistemnya. Sementara itu, Pulau Gag, yang merupakan salah satu pulau dalam gugus Raja Ampat yang sedang ditambang, memiliki luas 6 ribu hektare atau setara dengan 60 km2.

"Oleh karena itu, sudah jelas bahwa pulau-pulau kecil termasuk dalam kategori tersebut, sehingga sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, aktivitas pertambangan tidak diperbolehkan," ujar Feri.

Larangan terhadap pertambangan di pulau kecil juga telah ditegaskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023. Dengan putusan ini, Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali larangan aktivitas tambang di kawasan pesisir dan pulau kecil.

Feri, yang merupakan mantan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, juga menyatakan bahwa pertambangan di Raja Ampat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Ia menjelaskan bahwa Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa perekonomian nasional harus diselenggarakan berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi yang mencakup kebersamaan, efisiensi yang adil, keberlanjutan, kesadaran lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Menurut Feri, kenyataannya, pertambangan di Raja Ampat tidak memperhatikan aspek lingkungan dan hanya berorientasi pada produksi nikel, yang mengorbankan kelestarian lingkungan.

Dengan adanya peraturan tersebut, Feri menegaskan bahwa Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia tidak dapat menghindar dari tanggung jawabnya. Ia menekankan bahwa pemerintah seharusnya menghentikan aktivitas tambang secara permanen di wilayah tersebut, bukan hanya menghentikannya sementara. Hal ini dikarenakan pelanggaran hukum yang sudah sangat jelas.

Apalagi, Feri menyatakan, Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 dengan jelas menyebutkan bahwa menteri memiliki kewenangan untuk menerbitkan dan mencabut izin pemanfaatan pulau-pulau kecil jika hal tersebut berdampak signifikan terhadap perubahan lingkungan.

"Mengapa kemudian harus dihentikan sementara?" tanya Feri. "Jadi menurut pendapat saya, tidak ada alasan lagi, tidak perlu lagi dibangun argumentasi untuk menghentikan sementara."

Di sisi lain, Herdiandyah Hamzah, dosen hukum tata negara di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, menyatakan bahwa penerbitan izin pertambangan di Raja Ampat, yang secara jelas dilarang oleh undang-undang, menunjukkan adanya indikasi korupsi.

"Sudah jelas terdapat undang-undang dan putusan MK, namun izin pertambangan tetap dikeluarkan. Ini menunjukkan adanya kongkalikong antara otoritas yang memberikan izin, dalam hal ini pemerintah, dengan perusahaan tambang," ungkap Herdiansyah kepada Tempo.

Herdiansyah menambahkan bahwa terungkapnya tambang di Raja Ampat dapat menjadi titik awal bagi aparat penegak hukum untuk menyelidiki adanya tindakan korupsi di dalamnya. Sebab, tidak mungkin izin tambang dapat diterbitkan dengan melanggar hukum dan jelas terdapat kerugian bagi negara.

"Indikasi korupsi mungkin ada di sana, dalam bentuk gratifikasi, suap, dan lain-lain. Hal ini juga perlu dipertimbangkan," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa izin usaha pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, diterbitkan sebelum ia menjabat sebagai menteri. Pernyataan Bahlil tersebut merupakan respons terhadap keputusan untuk menghentikan sementara aktivitas produksi PT GAG Nikel yang belakangan ini menjadi sorotan publik.

"Saya ingin menegaskan, ketika izin usaha pertambangan dikeluarkan, saya masih menjabat sebagai Ketua Umum HIPMI dan belum menjadi bagian dari kabinet," ungkap Bahlil dalam keterangan tertulis yang dirilis pada Jumat, 6 Juni 2025.

Bahlil menjelaskan bahwa PT GAG Nikel adalah perusahaan yang memegang Kontrak Karya Generasi VII Nomor B53/Pres/I/1998. Kontrak ini telah ditandatangani sejak 19 Januari 1998 oleh presiden pada waktu itu.

Bahlil juga membantah klaim bahwa pertambangan nikel merusak Raja Ampat. Ia menegaskan bahwa kegiatan pertambangan tidak dilakukan di Pulau Piaynemo, yang terkenal dengan pemandangan bukit karst dan terumbu karang, melainkan di Pulau Gag yang berjarak sekitar 30 hingga 40 kilometer.

"Banyak media yang menyatakan bahwa penambangan dilakukan di Pulau Piaynemo. Itu tidak benar. Lokasinya berada di Pulau Gag yang cukup jauh dari Piaynemo. Saya tahu karena saya sering mengunjungi Raja Ampat," kata Bahlil.

Bahlil hanya menghentikan sementara aktivitas pertambangan nikel oleh perusahaan tersebut. Pembekuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tersebut mulai berlaku sejak Kamis, 5 Juni 2025. Langkah ini diambil setelah adanya penolakan terhadap kegiatan pertambangan nikel di Raja Ampat oleh aktivis lingkungan dan aliansi masyarakat sipil yang menganggapnya mengancam ekosistem.

"Untuk sementara, kami hentikan operasinya sampai verifikasi lapangan selesai. Kami akan melakukan pengecekan," kata Bahlil.

PT Gag Nikel adalah anak perusahaan dari PT Antam Tbk, salah satu badan usaha milik negara (BUMN). Bahlil menyatakan bahwa IUP produksi perusahaan tersebut untuk menambang nikel di Raja Ampat diterbitkan pada tahun 2017 dan mulai beroperasi setahun setelahnya. "Sebelum memulai operasi, sudah ada Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Amdal ini sudah tersedia," kata Ketua Umum Partai Golkar tersebut.

Pada awalnya, perusahaan ini dimiliki oleh Asia Pacific Nickel Pty. Ltd. dengan penguasaan saham sebesar 75 persen, sedangkan PT Aneka Tambang (ANTAM) memiliki 25 persen. Namun, sejak tahun 2008, PT ANTAM telah mengakuisisi seluruh saham APN Pty. Ltd. dan kini sepenuhnya menguasai PT GAG Nikel.

Sebelumnya, penolakan terhadap aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat telah disampaikan oleh Greenpeace Indonesia dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference & Expo yang berlangsung di Hotel Pullman pada hari Selasa, 3 Juni 2025. Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Global untuk Indonesia, menyatakan bahwa wilayah Raja Ampat akan mengalami kerusakan jika aktivitas tambang dibiarkan berlanjut. Ia menegaskan bahwa dampak merusak akibat industri nikel telah terjadi di beberapa daerah seperti Halmahera, Wawonii, dan Kabaena. Saat ini, aktivitas serupa mulai menyebar ke Raja Ampat.

"Saat ini, sudah terdapat lima pulau yang mulai dieksploitasi. Padahal, wilayah ini merupakan kawasan geopark global dan salah satu destinasi wisata bawah laut yang paling populer. Sekitar 75 persen terumbu karang terbaik di dunia berada di Raja Ampat, dan kini mulai mengalami kerusakan," ujarnya.

Penelusuran yang dilakukan oleh Greenpeace tahun lalu menemukan adanya aktivitas tambang di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Ketiga pulau tersebut termasuk dalam kategori pulau kecil yang seharusnya tidak boleh ditambang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.



Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.